Senin, 25 April 2011

Sultan Asahan I, Sultan Abdul Jalil




Sultan Iskandar Muda


Sempat menjadi perdebatan, siapa sebenarnya ayahanda Sultan Asahan I yakni Sultan Abdul Jalil apakah Sultan Alaidin Riyatsyah Al Qahar atau Sultan Iskandar Muda. Sultan Alaidin Riyatsyah Al Qahar yang merupakan kakek dari Sultan Iskandar Muda berkuasa pada (1537-1571). Penemuan Asahan Asahan saat Sultan Aceh melakukan penyerangan besar ke Kerajaan H(a)ru di Deli Tua guna mengejar Sultan Johor yang pro Portugis. Ada juga versi lain menyebutkan, Sultan Alaidin Riyatsyah Al Qahar terpesona dengan kecantikan Ratu Kerajaan Haru (Putri Hijau) sehingga timbul keinginannya untuk meminangnya.

Namun dari sumber yang bisa dijadikan referensi, bahwasanya ayahanda Sultan Abdul Jalil bernama Sultan Mahkota Alam Johan Berdaulat. Jika ditelesuri, nama tersebut berakar kepada Sultan Iskandar Muda yang dikenal dengan gelar Perkasa Alam, Dharmawangsa, Tun Pangkat, Perkasa Alam Maharaja, Darmawangsa Tun Pangkat, bahkan disingkat Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat dan gelar terakhir Marhum Mahkota Alam (Aceh Sepanjang Abad; HM Said hal 262).

Selain itu, Sultan Iskandar Muda berkuasa mulai tahun 1607 hingga 1636.  (Hal ini cukup relevan bersamaan dengan masa Abdul Jalil yang ditabalkan sebagai Sultan Asahan Pertama pada 1620 dan dijadikan sebagai dasar Hari Jadi Kota Tanjung Balai dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjungbalai Nomor: 4/DPRD/TB/1986 Tanggal 25 November 1986).

Fakta lainnya menyebutkan, makam ibunda Sultan Asahan bernama Siti Unai (Siti Ungu) yang masih ada di Pulau Raja Pekan (sekitar 205 km dari Kota Medan) tertulis Siti Ungu meninggal Tahun 1660.

Begitupun, untuk mengetahui siapa sebenarnya ayahanda Sultan Abdul Jalil, harus melalui peneliatian yang cukup panjang, bisa jadi penelitian dilakukan hingga Portugal (Portugis) dan Negeri Belanda di University of Leiden.

Sultan Iskandar Muda pertamakalinya menemukan Asahan pada 1612 saat misi pengejaran Sultan Johor yang diburu mulai dari Kerajaan Aru (Deli Tua) hingga Selat Malaka. Namun Sultan Johor berhasil kabur kembali kedaerahnya. Dalam pengejaran itu, Sultan singgah di suatu negeri dekat selat malaka, karena sungainya lebar, Sultan  menelurusi sungai itu hingga menemukan sebuah tanjung (pertemuan Sungai Asahan dengan Sungai Silau). Sultan heran, daerah yang indah ini tapi tidak ada penghuninya.

Saat istirahat, Sultan terpesona melihat banyak berkeliaran rumput berdaun lebar di pinggir aliran sungai. Rumputnya memiliki bulu yg tebal dan tajam dan  bisa mengasah rencong, pisau, pedang, tombak bahkan bisa membersihkan mariam dari karat akibat  karosi air laut. Karena rumput yang unik itulah Sultan menamakan daerah itu dengan sebutan Asahan.

Setelah lama berisirahat, salah seorang prajuritnya menemukan tungkul jagung bakar dan kulit cempedak yang hanyut di sungai asahan yang jernih itu dan hal itu membuktikan di hulu sungai pasti ada perkampungan. Prajurit itu melapor  dan sultan memerintahkan hulubalang dengan ditemani beberapa prajurit yang persenjataan lengkap menelusuri hulu sungai asahan.

Saat menelusuri sungai, di tengah perjalanan hulubalang itu bertemu dengan seorang bomoh (dukun/orang yang punya ilmu kebatinan tinggi) bernama Bayak Lingga dari suku Karo. Bayak Lingga ini mengerti sedikit bahasa Aceh. Akhirnya Hulubalang Sultan menanyakan siapa yang memerintah negeri tersebut dan Bayak Lingga menjawab penguasa daerah itu bernama Raja Margolang (Mhd Arsjad menyebutkan Raja Margolang adalah seorang perempuan, Tabal Mahkota Negeri Asahan 1933; 12)

Bayak Lingga membawa Hulubalang Aceh menghadap Raja Margolang. Melihat kedatangan hulubalang Aceh beserta bala prajurit gagah dengan persenjataan canggih di masa itu membuat hati Raja Margolang menjadi ciut. Bayak Lingga mencerita kepada Raja Margolang  maksud kedatangan tentara Aceh itu untuk menguasai daerah tersebut dan tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Hal ini membuat Raja Margolang semakin menjadi takut.

Akhirnya Raja Margolang mengutus Bayak Lingga untuk mewakilinya menghadap Sultan karena Bayak Lingga itu lebih mengerti bahasa Aceh, karena harus menghadap Sultan, Bayak Lingga Karo dihiasi dengan pakaian kebesaran kerajaan dan menyampaikan pesan akan tunduk di bawah kekuasaan Aceh.

Sesampainya di hilir, Sultan memberitahukan kepada utusan Raja Margolang itu menetapkan Asahan sebagai wilayah kekuasaannya dan memerintahkan Bayak Lingga untuk mendirikan perkampungan disitu. Selanjutnya  sultan kembali melanjutkan pertempuran di Selat Malaka.

Setelah sultan pergi, Bayak Lingga kembali ke hulu menemui Raja Margolang dan menyampaikan pesan Sultan Aceh tersebut dan akhirnya Bayak Lingga membangun perkampungan tersebut dan menjadi raja di tanjung tersebut.

4 komentar:

  1. blog ini sangat bagus, saya tertarik untuk mengumpolkan artikel ini

    BalasHapus
  2. Seorang pemuda batak merantau ke Asahan sekitar tahun 1933. Pemuda itu bernama Jonathan Pandjaitan. Lama tak ada beritanya, lalu kakek saya menyuruh ayah saya untuk mencarinya sekitar tahun 1940 (katanya sebelum Jepang masuk). Berbulan mencari kesana-kemari, akhirnya ayah saya bertemu dengan abang kandungnya tersebut. Dia telah menjadi menantu keluarga Kerajaan di Asahan. Cerita ayah saya tsb, tidak begitu jelas lagi saya ingat apakah pertemuan mereka di Istana Kesultanan Asahan atau di Kedatukan Indrapura. Kemudian ayah pulang ke Sitorang - Toba membawa berita, bahwa abangnya itu hidup berkecukupan di negeri orang.
    Kakek saya pun meninggal tahun 1949, tanpa pernah lagi bertemu dengan putranya tersebut. Beberapa kali ayah saya pergi ke Asahan mencari kabar berita sekitar tahun 1950 an, namun tidak ada lagi jejaknya. Ayah saya menduga bahwa abangnya; Jonathan Pandjaitan (mungkin namanya sudah berubah setelah memeluk agama islam) telah ikut menjadi korban pembunuhan massa yg dinamakan revolusi sosial maret 1946.

    Kami mencari, kemungkinan apakah ada keluarga/ anak/ cucu yg ditinggalkan Bapak tua Jonathan tersebut?
    Ayah saya sendiri telah meninggal dunia tahun 1994.
    Semoga Tuhan membuka jalan. Amin.
    Budiman Panjaitan
    budimanpanjaitan@gmail.com

    BalasHapus
  3. Sorry..this picture they used before for Teuku Umar.During the time of that sultan you put the name under,there were no realstic images.

    BalasHapus
  4. Sorry..I maade a mistake.It looked like him.No..it was an image used for Sultan of Aceh,but it is a phanatasy image.

    BalasHapus