Senin, 25 April 2011
Medal of Honor
Blog ini dipersembahkan kepada Adinda Alm Tengku Ferry Bustamam, penulis buku "Bunga Rampai Kesultanan Asahan"...moga amal ibadahnya di terima Allah SWT....Amin
Berdirinya Kesultanan Asahan
Makam Sultan Abdul Jalil, Sultan Asahan I (bawah) Makam Siti Unai, Ibunda Sultan Abdul Jalil (atas) |
yang bernama Raja Alamsyah Syaifuddin memiliki tiga orang anak (dua putra dan satu putri), yang sulung bernama Batara Guru Gorga Pinayungan (Batara Sinomba), yang tengah bernama Batara Guru Payung dan yang bungsu bernama Putri Logageni.
Pada suatu ketika terjadi hal yang cukup mengejutkan, Raja Pagaruyung mengusir Batara Sinomba dengn adik tirinya Putri Logageni karena terlibat asmara terlarang, namun sang adik Batara Gorga Payung ikutserta bersama saudara.
Ketiganya berkelana ke arah barat hingga akhirnya tiba negeri Mandailing. Saat berada di negeri itu, Batara Pinayungan menikah dengan putri asal Mandailing dan menetp di daerah tersebut (dari sinilah awal dari keturunan raja-raja mandailing Nasution).
Selanjutnya Batara Sinomba dan Putri Lagogeni melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di suatu kawasan dengan pemandangan yang cukup indah. Mereka beristirahat di bawah pohon pinang yang cukup besar (daerah ini selanjutnya dikenal dgn daerah nama Pinang Awan). Di daerah tersebut hanya ada segolongan penduduk yang terdiri dari dua marga yakni Daposang dan Tambak. Kedua merga itu dikepalai Patoean Hadjoran.
Karena kedatangan Putera Raja Pagaruyung tersebut akhirnya Patoean Hadjoran merajakan Batara Sinomba dengan gelar Soetan Sinomba. Keduanya menetap dan dibukalah kampung yang dinamakan Kerajaan Pinang Awan. Letak pusat pemerintahannya dikenal dengan nama Hotang Momo (Hotang Mumuk). Oleh karena itu Batara Sinomba dikenal dengan Marhum Mangkat di Hutang Momo. Mereka mempunyai anak yang bernama Raja Halib (Tengku Ferry Bustamam dalam bukunya Bunga Rampai Kesultanan Asahan menyebut dengan nama Sultan Mangkuto Alam; hal 10).
Raja Halib kemudian menikah dengan putri Raja Angkola yang akhirnya menjadi Raja Air Merah (Kota Pinang) dan melahirkan lima orang yakni Raja Husin, Raja Abas, Raja Karib, Siti Ungu dan Siti Meja. Kemudian Raja Halib kawin lagi dengan seorang gundik dan dikarunai seorang anak laki-laki.
Suatu ketika terjadi intrik dari gundik raja. Dengan segala tipu daya, gundik tersebut ternyata berambisi menjadikan anaknya sebagai raja di Air Merah. Dengan akal liciknya sang gundik berhasil mempengaruhi Raja Halib dan sang raja menetapkan anak gundik itu menjadi putra mahkota. Akibat perbuatan ayahandanya, maka Raja Husin dan Raja Abas mencari suaka ke negeri Aceh.
Mengingat Asahan memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan Aceh, Raja Husin dan Raja Abas singgah di Asahan untuk bertemu dengan Bayak Lingga guna meminta bantuan dari Kerajaan Aceh. Akhirnya Sultan Iskandar Muda mengutus Panglimanya, Raja Muda Padir (Pasai) untuk menyelesaikan sengketa. Bala bantuan akhirnya tiba, dengan armada laut Sultan Aceh yang terkenal dan Raja Halib selanjutnya terbunuh dibawah pohon jambu yang selanjutnya dikenal dengan gelar "Marhum Mangkat Dijambu". Karena keberhasilan perajurit Aceh memerangi ayahnya, akhirnya Raja Husin dan Raja Abas merelakan kedua adiknya Siti Ungu dan Siti Meja menjadi istri Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda.
Raja Husin itupun kembali dinobatkan menjadi raja di Air Merah dengan gelar Marhum Mangkat Dikumbul. Dari sinilah asal muasal Kerajaan Panai dan Bilah. Raja Abas tinggal di Kampung Raja dengan gelar Marhum Mangkat di Sungai Toras dan Raja Karib mudik ke hulu (Kota Pinang) dan membuat negeri di Tasik, sesudah mangkat bergelar Marhum Mangkat di Tasik.
Beberapa tahun kemudian Raja Husin dan Raja Abas rindu dan berkeinginan membawa Siti Ungu pulang ke Air Merah. Mereka singgah di Asahan menjeput Bayak Lingga Karo untuk bersama-sama pergi ke Aceh .Tiba di Aceh, di saat bersamaan ada sayembara "sabung ayam" dgn taruhan besar.Bayak Lingga yang memiliki keterampilan melatih ayam untuk sabung akhirnya ikutserta, ternyata ayam mereka bisa memenangkan sayembara . Selanjutnya Sultan Aceh meminta kepada mereka hadiah apa kira2 yang diinginkan, akhirnya melalui Bayak Lingga, kedua raja itu meminta putri Siti Ungu untuk menjadi istri Bayak Lingga.
Tetapi saat itu, siti ungu ternyata sedang hamil besar, begitupun Sultan aceh mengabulkan permohonan untuk membawa putri ungu ke asahan. Sedangkan Siti Meja saat itu telah meninggal dunia. Sultan iskandar muda memenuhi permintaan dan merelakan Siti Ungu kembali ke Asahan, namun dengan syarat Bayak Lingga tidak boleh kawin dengan Siti Ungu hingga anaknya lahir dan apabila anaknya laki-laki harus menjadi sultan di Asahan.
Sebelum berangkat ke Asahan, Sultan Aceh memerintahkan kepada mereka untuk singgah di Pasai memberikan dua pucut surat untuk diberikan kepada Hulubalang Pasai dan kepada anak Sukmadiraja yang keturunannya dari Kampung Sungai Tarap Minangkabau. Surat itu berisikan agar Hulubalang Pasai memerintahkan kepada anak Sukmadiraja ikutserta ke Asahan dan menjadi saksi atas hamilnya Siti Ungu.
Akhirnya tibalah mereka di Asahan (Tanjung Balai) dan lahirlah Raja Abdul Jalil dengan dipangku oleh anak Sukmadiraja untuk diangkat menjadi Sultan Asahan. Setelah melahirkan, Siti Ungu kawin dengan Bayak Lingga Karo dan masuk Islam dengan merubah nama menjadi Raja Bolon. Mereka menetap di Pangkalan Sitarak (Pulau Raja).
Dari perkawinan Siti Ungu dengan Raja Bolon lahirlah seorang putra yang bernama Raja Abdul Karim. Inilah yang menjadi bahu kanan Sultan Asahan karena seibu dengannya. Selanjutnya Bayak Lingga (Raja Bolon) kawin lagi dengan anak Raja Margolang dan mendapat dua anak laki-laki yakni Raja Samad dan Raja Kahar. Mereka inilah yang menjadi bahu kiri sultan.
Setelah Raja Bolon mangkat, terjadi perselisihan antara Sultan Abdul Jalil dengan Raja Simargolang karena mengangkat kedua cucunya yakni Raja Samad menjadi Raja di Huta Bayu dan Raja Kahar jadi Raja di Tanjung Pati. Perbuatan Raja Margolang itu membuat sultan bersama anak Sukmadiraja dan petingginya mundur hingga ke Batubara, Sultan mengirim surat kepada ayahandanya sultan Iskandar Muda mengadu atas perlakuan semena-mena Raja Simargolang.
Akhirnya Sultan Iskandar Muda disertai armada lautnya yang gagah datang ke Batubara menemui anaknya Sultan Abdul Jalil dan bersama-sama menyerang Raja Simargolang yang menetap di kawasan Bandar Pulau. Akhirnya prajurit Raja Simargolang kalah dan berlarian ke hutan. Raja Simargolang menyerah dan Sultan Iskandar Muda mengumpulkan raja-raja hulu lainnya di suatu tempat.
Sultan Iskandar Muda memerintahkan kepada Raja Margolang dan raja-raja hulu untuk berjanji agar tunduk kepada Sultan Abdul Jalil. Tempat pertemuan itu dikenal dengan nama Marjanji Aceh, Bandar Pulau. Daerah ini masih tetap sama namanya hampir 400 tahun hingga saat ini.
Selanjutnya Sultan Iskandar Muda bersama Sultan Abd Jalil, serta raja-raja lainnya dibawa ke hilir. Di tanjung itu Sultan Iskandar Muda mendirikan balai (tempat pertemuan) dan istana dan pada tahun 1630 Sultan Iskandar Muda menabalkan Abd Jalil menjadi Sultan Asahan pertama (yang beragama Islam). Tempat ini dikenal dgn nama Balai di Ujung Tanjung. Oleh Pemko T Balai telah dibangun prasastinya di daerah ini (Inilah asal muasal kota Tanjung Balai dan diresmikan oleh Gubsu H Syamsul Arifin pada 2010 lalu).
Penabalan sultan abdul Jalil oleh Sultan Aceh ditandai dengan penyematan tanda kebesaran seperti Pedang Kerajaan, Bawar, Meriam bernama Si Juang Nan Hilang, Jurung dan Sikilap (Barang-barang tersebut masih ada dan dirawat oleh keluarga di Istana Kesultanan Asahan. Hingga akhirnya tanda kebesaran Sultan Aceh untuk Sultan Asahan pertama tersebut hilang saat gejolak Revolusi Sosial 3 Maret 1946. Yang tersisa hanya tiga buah meriam yang dapat dilihat di halaman rumah Tengku Amir Husain tepatnya persis di depan Stadion Tanjung Balai), Selanjutnya Sultan Aceh mempersilahkan Sultan Abdul Jalil kembali ke Pangkalan Sitarak (Pulau Raja). Sultan Iskandar Mudapun kembali ke Aceh.
Sultan Asahan I, Sultan Abdul Jalil
Sultan Iskandar Muda
Sempat menjadi perdebatan, siapa sebenarnya ayahanda Sultan Asahan I yakni Sultan Abdul Jalil apakah Sultan Alaidin Riyatsyah Al Qahar atau Sultan Iskandar Muda. Sultan Alaidin Riyatsyah Al Qahar yang merupakan kakek dari Sultan Iskandar Muda berkuasa pada (1537-1571). Penemuan Asahan Asahan saat Sultan Aceh melakukan penyerangan besar ke Kerajaan H(a)ru di Deli Tua guna mengejar Sultan Johor yang pro Portugis. Ada juga versi lain menyebutkan, Sultan Alaidin Riyatsyah Al Qahar terpesona dengan kecantikan Ratu Kerajaan Haru (Putri Hijau) sehingga timbul keinginannya untuk meminangnya.
Namun dari sumber yang bisa dijadikan referensi, bahwasanya ayahanda Sultan Abdul Jalil bernama Sultan Mahkota Alam Johan Berdaulat. Jika ditelesuri, nama tersebut berakar kepada Sultan Iskandar Muda yang dikenal dengan gelar Perkasa Alam, Dharmawangsa, Tun Pangkat, Perkasa Alam Maharaja, Darmawangsa Tun Pangkat, bahkan disingkat Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat dan gelar terakhir Marhum Mahkota Alam (Aceh Sepanjang Abad; HM Said hal 262).
Selain itu, Sultan Iskandar Muda berkuasa mulai tahun 1607 hingga 1636. (Hal ini cukup relevan bersamaan dengan masa Abdul Jalil yang ditabalkan sebagai Sultan Asahan Pertama pada 1620 dan dijadikan sebagai dasar Hari Jadi Kota Tanjung Balai dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjungbalai Nomor: 4/DPRD/TB/1986 Tanggal 25 November 1986).
Fakta lainnya menyebutkan, makam ibunda Sultan Asahan bernama Siti Unai (Siti Ungu) yang masih ada di Pulau Raja Pekan (sekitar 205 km dari Kota Medan) tertulis Siti Ungu meninggal Tahun 1660.
Begitupun, untuk mengetahui siapa sebenarnya ayahanda Sultan Abdul Jalil, harus melalui peneliatian yang cukup panjang, bisa jadi penelitian dilakukan hingga Portugal (Portugis) dan Negeri Belanda di University of Leiden.
Sultan Iskandar Muda pertamakalinya menemukan Asahan pada 1612 saat misi pengejaran Sultan Johor yang diburu mulai dari Kerajaan Aru (Deli Tua) hingga Selat Malaka. Namun Sultan Johor berhasil kabur kembali kedaerahnya. Dalam pengejaran itu, Sultan singgah di suatu negeri dekat selat malaka, karena sungainya lebar, Sultan menelurusi sungai itu hingga menemukan sebuah tanjung (pertemuan Sungai Asahan dengan Sungai Silau). Sultan heran, daerah yang indah ini tapi tidak ada penghuninya.
Saat istirahat, Sultan terpesona melihat banyak berkeliaran rumput berdaun lebar di pinggir aliran sungai. Rumputnya memiliki bulu yg tebal dan tajam dan bisa mengasah rencong, pisau, pedang, tombak bahkan bisa membersihkan mariam dari karat akibat karosi air laut. Karena rumput yang unik itulah Sultan menamakan daerah itu dengan sebutan Asahan.
Setelah lama berisirahat, salah seorang prajuritnya menemukan tungkul jagung bakar dan kulit cempedak yang hanyut di sungai asahan yang jernih itu dan hal itu membuktikan di hulu sungai pasti ada perkampungan. Prajurit itu melapor dan sultan memerintahkan hulubalang dengan ditemani beberapa prajurit yang persenjataan lengkap menelusuri hulu sungai asahan.
Saat menelusuri sungai, di tengah perjalanan hulubalang itu bertemu dengan seorang bomoh (dukun/orang yang punya ilmu kebatinan tinggi) bernama Bayak Lingga dari suku Karo. Bayak Lingga ini mengerti sedikit bahasa Aceh. Akhirnya Hulubalang Sultan menanyakan siapa yang memerintah negeri tersebut dan Bayak Lingga menjawab penguasa daerah itu bernama Raja Margolang (Mhd Arsjad menyebutkan Raja Margolang adalah seorang perempuan, Tabal Mahkota Negeri Asahan 1933; 12)
Bayak Lingga membawa Hulubalang Aceh menghadap Raja Margolang. Melihat kedatangan hulubalang Aceh beserta bala prajurit gagah dengan persenjataan canggih di masa itu membuat hati Raja Margolang menjadi ciut. Bayak Lingga mencerita kepada Raja Margolang maksud kedatangan tentara Aceh itu untuk menguasai daerah tersebut dan tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Hal ini membuat Raja Margolang semakin menjadi takut.
Akhirnya Raja Margolang mengutus Bayak Lingga untuk mewakilinya menghadap Sultan karena Bayak Lingga itu lebih mengerti bahasa Aceh, karena harus menghadap Sultan, Bayak Lingga Karo dihiasi dengan pakaian kebesaran kerajaan dan menyampaikan pesan akan tunduk di bawah kekuasaan Aceh.
Sesampainya di hilir, Sultan memberitahukan kepada utusan Raja Margolang itu menetapkan Asahan sebagai wilayah kekuasaannya dan memerintahkan Bayak Lingga untuk mendirikan perkampungan disitu. Selanjutnya sultan kembali melanjutkan pertempuran di Selat Malaka.
Setelah sultan pergi, Bayak Lingga kembali ke hulu menemui Raja Margolang dan menyampaikan pesan Sultan Aceh tersebut dan akhirnya Bayak Lingga membangun perkampungan tersebut dan menjadi raja di tanjung tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)